Sosiolog Pedesaan yang Bersahaja Itu Telah Tiada [In Memoriam Dr Viktor Amrifo SPi MSi]

BEGITU banyak kematian, tapi pada kematian seseorang yang berarti, ada sesuatu yang lain dalam kehilangan itu: penemuan kembali. Dr Viktor Amrifo SPi MSi, dosen Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Riau (UNRI), meninggal pagi ini, Sabtu (26 Agustus 2023) sekitar pukul 04.20 WIB di Kota Dumai. Kabar mendadak sekaligus mengagetkan ini, saya baca di status yang ditulis Prof Dr Ir Rifardi MSc, Dekan FPK, sepuluh menit kemudian, di grup WhatsApp Dosen S2/S3 fakultas itu. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Menit itu juga langsung saya balas dengan ucapan duka yang mendalam. Sesaat kemudian kabar tentang kepergian Dr Viktor bertebaran di semua grup dosen dan sebagian grup mahasiswa UNRI.

Kepergian Dr Viktor Amrifo, dalam usia relatif muda, 49 tahun, memang membuat banyak pihak, khususnya di lingkungan UNRI, merasa kehilangan. Doktor sosiologi pedesaan jebolan IPB Bogor (2014) ini, sehari-hari adalah dosen tetap di Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan (SEP) FPK Unri. Sejak tiga bulan terakhir pria kelahiran Teluk Kuantan ini menjabat sebagai Kepala Laboratorium Pengembangan Masyarakat Jurusan SEP, dan saya merupakan salah satu dosen anggotanya. 

Meski Dr Viktor sudah 24 tahun jadi dosen (sejak 1999) dan saya bahkan sejak 1987, namun kedekatan kami secara fisik baru berlangsung sejak 2014, persis saat Viktor menyelesaikan studi S3-nya di IPB. Sejak itu kami sama-sama mengajar, membimbing dan menguji skripsi, dan meneliti. Karena berada dalam satu ‘payung’ laboratorium, kami sering mengajar dalam satu tim, bersama-sama membimbing skripsi seorang mahasiswa, dan menjadi penguji calon sarjana. Pada 2017 kami melakukan riset perikanan bersama yang melibatkan Tim Kementerian Kelautan dan Perikanan di lokasi perairan Batam. 

Dalam pergaulan sehari-hari di kampus, Dr Viktor adalah sosok ilmuwan pintar, namun tetap bersahaja. Saat menguji mahasiswa, dia mengeksplorasi kemampuan mahasiswa secara substantif hingga ke akar-akarnya. Tetapi tidak kikir memberi nilai. Semasa hidupnya, almarhum senantiasa berpenampilan apa adanya dan tidak ‘jaim’ (jaga image). Tutur katanya lembut, suaranya tidak keras. Almarhum juga tidak suka dan selalu menghindari konflik, walau mempunyai pendirian yang teguh. Bahkan, sesekali dia suka melontarkan joke-joke segar dan humor berkualitas pada saat rapat-rapat dengan sesama dosen. 

Tapi salah satu yang mengesankan saya dari sosok Dr Viktor adalah bahwa ternyata dia memiliki jiwa seni musik yang menonjol. Itu terpantau saya ketika berlangsungnya Reuni Akbar FPK sekitar tahun 2016 di Kampus UNRI Panam. Kala itu, alumni angkatan 1993 diminta tampil unjuk kebolehan di hadapan alumni lainnya. Di luar dugaan saya, Viktor, dengan menggendong sebuah gitar, maju ke depan bersama beberapa teman seangkatannya, membawakan lagu “Bento”, milik Iwan Fals. 

Habis tampil, saya pegang pundaknya. “Hobby lagu Iwan Fals juga ternyata?,” kata saya. 

”Ya, sejak mahasiswa saya suka, Pak,” jawabnya tersenyum. 

Dr Viktor Amrifo sempat beberapa tahun menjadi Wakil Rektor I (Bidang Akademik) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Namun sejak setahun terakhir, kembali mengabdi di almamaternya, UNRI. ”Pengabdian di UMRAH sudah selesai Pak. Saya kembali lagi ngajar di UNRI,” ujarnya ketika saya tanya. Di UNRI, Viktor juga mengajar di Program Pascasarjana, dan menjabat Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) LPPM.

Sebulan lalu, saya bertemu almarhum di kampus FPK UNRI Panam karena sama-sama menguji calon sarjana perikanan. Kala itu, saya sedikit kaget karena melihat Viktor agak lebih kurus dari biasanya. Ketika itu dia memakai jeket untuk melawan dinginnya AC ruangan ujian. “Saya agak kurang sehat,” katanya pelan. 

Setelah itu, Dr Viktor lebih sering berada di rumahnya yang di Dumai. Jarang datang ke Pekanbaru. Sampai kemudian saya mendapat kabar dari kolega saya sesama dosen yaitu Dr Zulkarnain Umar SPi MSi, bahwa ayah empat anak itu mengalami sakit, dan harus dirawat serius di rumah.  Ketua Jurusan SEP FPK UNRI, Dr (Cand.) Hazmi Arief SPi MSi, begitu mendengar Dr Viktor sakit, langsung mengajak beberapa dosen SEP, membezuk Dr Viktor ke Dumai. “Beliau memang perlu dirawat dan istirahat yang cukup, karena kondisi fisik belum kuat. Pak Viktor masih sulit menelan makanan,” kata  Arief sepulang membezuk. Baik Hazmi Arief maupun Dr Zulkarnain yang juga alumni Pascasarjana IPB, sudah berulangkali membezuk Dr Viktor ke Dumai.

Namun, seminggu terakhir kondisi kesehatan Dr Viktor memburuk, sehingga harus dirawat serius di RSUD Dumai.

Ternyata pertemuan kami saat menjadi penguji itulah pertemuan saya terakhir dengan Dr Viktor. Sabtu pagi hari itu juga almarhum dikebumikan di Dumai. Hazmi Arief dan Dr Zulkarnain Umar ikut mengantar jenazah hingga ke tempat peristirahatannya yang terakhir. 

Dr Viktor Amrifo telah pergi untuk selamanya. Dan saya tak akan pernah lagi mendengar lirik-lirik lagu Iwan Fals keluar dari mulut Dr Viktor. Tapi, seperti kata Iwan Fals pula dalam tembangnya, Satu-satu:

Satu-satu daun berguguran/ Jatuh ke bumi dimakan usia/Tak terdengar tangis tak terdengar tawa/ Redalah reda//

Waktu terus bergulir/ Kita akan pergi dan ditinggal pergi/ Redalah tangis redalah tawa/ Tunas-tunas muda bersemi//

Ini pula lah yang digariskan Yang Maha Kuasa: Sesuatu yang berjiwa akan merasakan mati. Dan hanyalah kepada Kami (Allah SWT), kamu dikembalikan (QS. Al Alkabut: 57). 

Selamat jalan sahabat!

[Ir Ridar Hendri MSi PhD, Dosen FPK UNRI]